Home Arts Jogja Film Academy Siap Lahirkan Sineas Terampil

Jogja Film Academy Siap Lahirkan Sineas Terampil

Jogja Film Academy (JFA) membuka pendaftaran diploma d3 jurusan program studi perfilman dan televisi
Jogja Film Academy | Foto: Instagram/@jogjafilmacademy

Highlight.ID – Yogyakarta melahirkan banyak talenta yang sukses di dunia perfilman nasional maupun internasional. Ifa Isfansyah adalah salah satu sineas asal Yogyakarta yang karyanya tak digarukan lagi. Film-film garapan Ifa Isfansyah yang menghiasi layar lebar di Indonesia di antaranya yakni “Mountain Song” (2019), “Pesantren Impian” (2016), “Garuda di Dadaku” (2009), dan lainnya.

Berdirinya Jogja Film Academy

Sebagai orang yang lahir di Yogyakarta, Ifa Isfansyah merasa tergerak untuk mendirikan sekolah film di kota yang terkenal dengan makanan gudeg-nya tersebut. Berawal dari keinginan untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di bidang film, maka lahirlah Jogja Film Academy (JFA). Apalagi, Yogyakarta mempunyai akar budaya yang sangat kuat dan didukung pula statusnya sebagai Kota Pendidikan.

“Seiring meningkatnya produktivitas film di Indonesia, memang sudah membutuhkan adanya institusi (pendidikan) yang fokus pada kontribusi sumber daya manusia di bidang film,” kata Tri Wahyudi selaku Kepala Program Studi Produksi Film dan Televisi Jogja Film Academy. Di sisi lain, saat ini lembaga pendidikan di Indonesia kebanyakan cenderung mengarah ke produksi televisi.

Baca Juga:
Industri Perfilman Nasional Makin Maju, Peluang Kerja Terbuka Lebar

Awalnya, Jogja Film Academy yang berdiri pada tahun 2014 merupakan lembaga pendidikan yang membuka kursus film selama 3 tahun. Peminatnya pun berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Setiap tahun, peminat yang mendaftar di JFA mengalami peningkatan. Meski demikian, Jogja Film Academy membatasi peserta didik sebanyak 35 orang dalam satu kelas.

“Karena preparasinya kami ingin menjadi kampus maka exclusive course 3 tahun ini kita desain seperti kampus. Mereka mengenal sistem KRS (kartu rencana studi), SKS (satuan kredit semester), dan segala macamnya. Itu memang seperti kampus, ada pembimbingan karena kita proyeksinya ke sana. Tapi ini bukan mahasiswa, kami menyebutnya sebagai peserta didik,” jelas Wahyudi.

Kendala yang dihadapi ketika JFA masih menjadi lembaga kursus yakni peserta didiknya tidak bisa mengikuti ajang atau kompetisi tingkat mahasiswa. Selain itu, Jogja Film Academy juga tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan berbagai bentuk hibah maupun bantuan pendidikan.

Baca Juga:
Rilis Bulan September, Film-film Indonesia yang Seru Ini Hadir di Bioskop

Jogja Film Academy (JFA) membuka pendaftaran diploma d3 jurusan program studi perfilman dan televisi
Tri Wahyudi (Kepala Program Studi Produksi Film dan Televisi Jogja Film Academy) | Foto: Highlight.ID

Akademi Film Yogyakarta

Setelah berjalan sekian lama, Jogja Film Academy yang kampusnya berada di Jalan Timoho, Yogyakarta bertransformasi menjadi Akademi Film Yogyakarta (AFY) pada Desember 2018. Ketika secara resmi berubah menjadi akademi yang telah terdaftar di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pihak pengelola JFA tidak menemui hambatan berarti karena tinggal meneruskan kurikulum yang sudah ada. Status peserta didik pun berubah menjadi mahasiswa. Sebanyak 140 mahasiswa menjadi angkatan pertama AFY.

Untuk menjadi akademi yang resmi, Jogja Film Academy harus memenuhi berbagai macam kriteria tertentu seperti pengajar atau dosen minimal harus lulusan strata 2 (S2) misalnya. Fasilitas yang lengkap dan memadai juga menjadi persyaratan wajib. Setiap mahasiswa mendapatkan fasilitas yang sesuai dengan perkembangan teknologi fim terkini.

Selama kurun waktu 2014 hingga 2018, Jogja Film Academy terus melakukan branding agar mempunyai pondasi yang kokoh dan siap menjadi kampus. “Branding kami di luar adalah tetap Jogja Film Academy, tapi secara insitusional adalah Akademi Film Yogyakarta begitu resmi berdiri,” tambah pria kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, ini.

Baca Juga:
Terbaru di Oktober, Film-film Indonesia yang Siap Menghiburmu di Bioskop

Menurutnya, Jogja Film Academy mempunyai proyeksi sebagai lembaga pendidikan diploma yang tak hanya berkelas nasional tapi juga internasional. Untuk itulah, nama Jogja Film Academy lebih ditonjolkan sebagai brand yang mudah diingat orang. Sementara nama Akademi Film Yogyakarta dipakai untuk urusan yang sifatnya lebih formal.

Materi Perkuliahan

Sebagai lembaga pendidikan vokasional, JFA memberikan materi produksi film dan televisi yang menekankan pada praktikum. Dengan demikian, setiap mahasiswa JFA diharapkan siap untuk berkarier di dunia industri film. Adapun peminatan program studi Produksi Film dan Televisi terbagi menjadi Penulisan Naskah (Scriptwriting), Penyutradaraan (Directing), Produksi (Producing), dan Sinematografi.

Selama 3 tahun masa studi dengan 112 SKS, mahasiswa juga memperoleh materi-materi lainnya yang meliputi animasi, artistik seperti wardrobe dan set, video editing, dan sebagainya. Meskipun demikian, materi-materi tersebut tidak sebesar materi berdasarkan peminatan. Dengan berbekal materi yang diperoleh selama kuliah, mahasiswa diharapkan dapat menguasai berbagai macam keahlian yang dibutuhkan untuk membuat produksi film termasuk untuk keperluan tugas dan ujian akhir.

Berdasarkan persyaratan akademis, pendidikan vokasional harus menerapkan 60 persen praktikum. Namun pada kenyataannya, persentase praktikum di JFA bisa lebih dari itu. “Desain sekolah profesional adalah memberikan pengalaman kerja. Jadi pada saat kuliah, (mahasiswa) dianggap seolah-olah bekerja. Nanti ketika selesai (pendidikan) mereka menjadi tenaga yang siap guna. Semua mata kuliah ada praktik tentu dengan perhitungannya masing-masing. Praktiknya bisa banyak sekali,” ucapnya.

Baca Juga:
Rilis Bulan September, Film-film Indonesia yang Seru Ini Hadir di Bioskop

Jogja Film Academy (JFA) membuka pendaftaran diploma d3 jurusan program studi perfilman dan televisi
Jogja Film Academy | Foto: Instagram/@jogjafilmacademy

“Kami bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang suportif banget terhadap film, entah itu rental equipment atau tempat pemagangan,” kata Wahyudi. Meskipun demikian, JFA tidak sembarangan dalam memlih mitra. Misalnya, bekerja sama dengan production house (PH) yang benar-benar masih aktif memproduksi film.

Kerja Kolektif

Sejak awal, mahasiswa JFA dilatih untuk mengenal dan memahami berbagai macam film yang sifatnya nonindustrial. Film yang diproduksi oleh mereka nantinya harus memiliki pernyataan (statement) dan menyampaikan pesan tertentu. Meski demikian, mahasiswa tetap dibebaskan untuk berkarya sesuai dengan kreativitasnya. Lebih lajut Wahyudi memaparkan bahwa produksi film tidak harus dibuat dengan peralatan yang mahal. Artinya, mahasiswa dilatih untuk dapat membuat peralatan film yang ada.

Selama masa studi, mahasiswa berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman kerja secara langsung di industri lewat program on the job training (OJT). Pemilihan tempat OJT tak dapat dilakukan asal-asalan. Reputasi PH tempat OJT harus bisa diandalkan agar mereka mendapatkan ilmu, keterampilan, dan pengalaman baru. Para pengajar JFA merupakan praktisi yang berpengalaman sehingga dapat menilai apakah PH tersebut bagus atau tidak.

Baca Juga:
Film-film Indonesia Terbaru Untuk Kamu Tonton, Tayang September 2018

Sebagai syarat kelulusan, mahasiswa JFA diwajibkan membuat film pendek atau film panjang. Mereka melakukan pekerjaannya dalam tim secara kolektif dan dapat menggunakan tenaga dari luar kampus. Namun, mahasiswa tersebut tetap harus menjadi kepala unit (chief). “Karena film memang kerja kolektif jadi harus begitu. Dari awal, kita kondisikan banyak tugas yang mereka memang kolaboratif,” ujar lulusan S2 Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Tantangan dan Harapan

Tantangan yang dihadapi JFA yakni bagaimana mempertahankan mahasiswanya agar dapat lulus tepat waktu. Problematika umum yang sering terjadi di dunia pendidikan tinggi yakni ada mahasiswa yang tak menyelesaikan studinya ketika mereka merasa sudah mendapatkan ilmu maupun keterampilan yang dibutuhkan. Padahal, tingkat kelulusan mahasiswa sangatlah penting karena berkaitan dengan akreditasi. Untuk itu, JFA melakukan penolokukuran (benchmarking) ke kampus-kampus lain untuk mengantisipasi hal tersebut.

Seperti yang diutarakan Wahyudi, JFA akan tetap fokus pada pendidikan vokasional. Kalaupun ke depan ingin meningkatkan jenjang pendidikan maka pilihannya adalah program diploma 4 (D4), bukan strata 1 (S1). “Rencana jangka panjang, kami akan (membuka program) D4, sarjana terapan. Itu proyeksi kami,” kata dia.

Wahyudi menambahkan, “Kami ingin melakukan pendidikan dan pengajaran perfilman yang benar. Benar dalam artian sesuai dengan visi-misi kami menyiapkan tenaga  yang terampil. Memberikan sebaik-baiknya pendidikan sehingga lulus dari sini, mereka siap kerja. Dalam rangka itu, kami menyiapkan konsep jejaring untuk internal kami. Berafiliasi dengan institusi-institusi yang suportif.”

“Dengan kesetiaan kami memberikan pendidikan yang benar ini, tujuan-tujuan akan tercapai, menjadi lembaga (pendidikan) yang unggul, terpercaya. Karena kepercayaan itu kan berasal dari apa yang kita buat dan lakukan,” tutupnya.