
Highlight.ID – Peredaran berita bohong atau lebih dikenal dengan hoax telah masuk dalam tahap yang mengkhawatirkan. Berkembangnya media sosial memang memudahkan orang untuk saling berbagi dan bertukar informasi. Namun di sisi lain, media sosial juga membuat orang dapat menyebarkan berita bohong yang dipertanyakan kebenarannya. Hoax beredar melalui berbagai kanal namun yang paling banyak yakni lewat media sosial.
Anita Wahid sebagai Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan bahwa media sosial memiliki banyak manfaat sekaligus kekurangan. “Keuntungan media sosial, pertama adalah membuka akses terhadap berbagai macam informasi dari manapun dan semua orang bisa menjadi pembuat informasi sekaligus juga distributor, dan konsumen,” kata Anita di acara Social Media Week (SMW) Jakarta 2019 pada sesi konferensi bertema “It’s Time to be A Responsible Netizen” tanggal 13 November 2019 di The Hall, Senayan City.
Baca juga:
- Lebih Bijak Gunakan Medsos, Pesan dari Social Media Week (SMW) Jakarta 2019
- Hadirkan Pembicara Inspiratif, SMW 2019 Sedot Ribuan Peserta
- Pahami Jenis-jenis Hoax Agar Kamu Nggak Mudah Tertipu
Di samping mempunyai kelebihan, media sosial atau medsos juga mempunyai dampak negatif, yakni banyaknya informasi tidak benar yang beredar di internet. “Padahal kita tahu internet media sosial tidak hanya yang baik saja, tapi ada juga hal yang buruk. Media sosial kemudian banyak sekali dipenuhi berbagai macam hal yang sebenarnya mengandung hoax atau disinformasi. Itu yang membuat kami mempunyai tantangan besar,” papar Anita.
“Keuntungan saat ini, tingkat awareness terhadap hoax itu sudah sangat tinggi. Sudah ada kesadaran untuk selalu mencek informasi apakah benar atau tidak. Tapi itu, ada (dampak) buruknya, banyak sekali masyarakat kita yang tidak memahami bagaimana hoax bekerja sehingga efeknya adalah tidak memahami apakah menjadi korban hoax atau tidak,” tambahnya.
Sebagai contoh, pada pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019, yang menjadi korban hoax terbesar sebenarnya adalah pendukung kedua pasangan calon presiden dari kedua belah pihak, yakni pendukung Jokowi maupun Prabowo Subianto. Anita memaparkan, “Tapi ada korban hoax lain, yaitu orang-orang yang selama ini dijejali dengan informasi-informasi bohong dan didorong untuk mempercayai berita-berita tersebut sehingga kemudian orang-orang ini akan bersikap, bertindak, berperilaku, dan bertindak dengan cara tertentu. Itu kita, penerima informasi.”

“Untuk mengetahui bagaimana hoax itu bekerja sebenarnya sangat sederhana. Hoax itu memang dengan sengaja direkayasa, bukan hoax yang spontan. Hoax yang direkayasa sebagai senjata untuk agenda tertentu itu memang menyasar emosi manusia. kita punya dua cluster/kelompok emosi yang biasanya muncul karena hoax. Yang pertama, adalah emosi-emosi yang berhubungan dengan kekhawatiran kita karena merasa bahwa ada ancaman terhadap keselamatan dan keamanan jiwa kita.”
Contoh hoax jenis ini yakni yang berkaitan dengan kriminalitas seperti penculikan anak, kesehatan, dan bencana alam. “Kemudian ada kelompok lain yang jadi sasaran hoax, ini yang bahaya. Emosi-emosi yang muncul ketika merasa ada ancaman terhadap siapa diri kita. Identitas kita adalah agama dan kesukuan. Kalo kita dicekokin dengan hoax-hoax jenis ini, maka akan muncul emosi-emosi tertentu yaitu tersinggung, marah, benci,” ungkap Anita.
Sementara, Komisaris Besar Polisi Heru Yulianto (Kepala Bagian Diseminasi Informasi Digital Div Hubungan Masyarakat Markas Besar Polisi Republik Indonesia) mengatakan bahwa adanya teknologi seperti internet membuat orang dapat membuat konten dengan mudah. Konten yang diunggah ke internet merupakan jejak digital yang dapat menjadi alat bukti yang sangat kuat.
“Sebagian besar penyidik di seluruh dunia menyatakan bahwa jejak digital adalah bukti yang tak terbantahkan dan sangat mudah didapatkan. Pada prinsipnya, kita harus bijak menggunakan media sosial,” kata Heru.