Highlight.ID – Film Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang positif di tengah banyaknya film Barat yang ditayangkan di bioskop. Namun demikian, industri film sebagai bagian dari ekonomi kreatif menghadapi berbagai macam tantangan. Salah satunya yakni meningkatkan kualitas film nasional agar mempunyai daya saing. Selain itu, yang juga penting adalah sumber daya manusia yang mampu mendukung dan memperkuat ekosistem kreatif di Tanah Air.
“Menurut Badan Ekonomi Kreatif, film adalah salah satu produk ekonomi kreatif yang pertumbuhannya paling cepat. Bukan yang terbesar, tapi yang tercepat (yaitu), film, animasi, dan video,” ujar Marcella Zalianty selaku Ketua Umum Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) 56 di acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Bidang Industri Kreatif Tahun 2019 yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Kamis (7/10/2019).
Baca Juga:
Industri Perfilman Nasional Makin Maju, Peluang Kerja Terbuka Lebar
Film diperkirakan akan tumbuh lebih cepat lagi dan lebih besar lagi dengan pertumbuhan kanal-kanal OTT (over the top). Menurut saya, ini harus betul-betul diakselerasi agar film sebagai konteks produk budaya juga tetap bisa menjadi kekuatan ekonomi kita tetapi juga mempunyai kekuatan budaya,” imbuh dia.
Menurutnya, film sebagai produk kebudayaan mempunyai peran yang besar tidak hanya sebagai media hiburan tapi juga bisa menjadi inspirasi serta sarana edukasi dan pemersatu bangsa. Marcella mengatakan, “Dengan film, orang bisa kenal, dekat dengan budayanya. Masyarakat juga bisa mengetahui perjalanan peradaban bangsa.”
Dengan kemajuan kanal-kanal OTT, film menjanjikan peluang yang sangat besar. Selain itu, kehadiran OTT juga memberikan akses kepada publik untuk mengakses, memproduksi, dan mereproduksi konten-konten audio visual baik yang terencana maupun spontan. “Dan itu bisa dengan mudah diakses, di-upload, langsung dinikmati oleh publik secara luas,” jelas Marcella.
Baca Juga:
Terbaru di Oktober, Film-film Indonesia yang Siap Menghiburmu di Bioskop
Berkembangnya teknologi digital mampu memberikan keterbukaan untuk menghasilkan konten-konten kreatif tanpa harus dibebani dengan berbagai macam peraturan yang rumit. Tantangan yang dihadapi industri film saat ini yaitu bagaimana memproduksi konten-konten yang mempunyai daya saing. Yang tidak kalah penting, yakni regulasi pemerintah yang mampu mengakomodasi aspirasi pelaku industri film. Selain itu, yang menjadi sorotan adalah tenaga kerja dari dalam negeri dalam setiap produksi film.
Dalam ranah industri 4.0, para pelaku industri film juga dituntut untuk menguasai teknologi sehingga mampu menghasilkan komoditas dan mampu memperkuat ekosistem bisnis yang kondusif. Untuk menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul di bidang perfilman, maka peran lembaga pendidikan seperti sekolah menjadi penting.
Marcella menerangkan bahwa pertumbuhan industri film di Indonesia tergolong bagus. Hal itu dibuktikan dengan jumlah film nasional yang makin bertambah setiap tahunnya. Meski demikian, jumlah film nasional masih sangat kurang dibandingkan jumlah penduduk Indonesia. Oleh karena itu, infrastruktur di bidang perfilman sangat dibutuhkan agar produksi film nasional dapat tumbuh lebih optimal.
Baca Juga:
Rilis Bulan September, Film-film Indonesia yang Seru Ini Hadir di Bioskop
Indiskop
Saat ini, Indonesia telah memiliki banyak bioskop dengan kualitas yang terbilang bagus. Namun kendalanya, masih banyak lapisan masyarakat yang belum atau tidak mampu mengakses film di bioskop. “Buat saya penting film Indonesia ini harus hadir untuk seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, Indiskop ini ada. Bioskop itu lebih kepada social entrepreneurship, konsepnya gitu. Indiskop ini punya visi social impact. Indiskop juga sebagai ruang interaksi di mana masyarakat setempat bisa datang, belajar gimana sih caranya bikin film,” tambah Marcella.
Beroperasi sejak bulan Juni 2019, Indiskop merupakan bioskop rakyat yang berada di Pasar Jaya, Teluk Gong, Penjaringan, Jakarta Utara. Bioskop yang diresmikan pada tanggal 7 Oktober 2019 oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Basdewan ini menjadi bioksop pertama yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di dalam sebuah pasar.
Berdirinya Indiskop merupakan hasil kerja sama antara Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Jaya dengan PARFI 56. Pada awal pembukaannya, Indiskop yang mampu menampung 112 penonton setiap studio menayangkan sejumlah film-film Indonesia. Terdiri dari dua studio, Indiskop menawarkan tiket menonton yang tergolong murah bagi warga sekitar. Tiketnya mulai dari Rp18 ribu hingga Rp25 ribu. Indiskop juga dilengkapi dengan stand-stand makanan atau jajanan lokal.
Antusiasme masyarakat untuk menonton film di Indiskop terbilang bagus. Meski film-film yang diputar di Indiskop keluaran lama, namun masyarakat sekitar seperti menonton film baru karena memang belum pernah melihat sebelumnya. Marcella pun berharap masyarakat setempat di sekitar Indiskop tak hanya menonton film garapan orang lain, tapi suatu saat bisa menonton film produksi mereka sendiri.