![penyebab-kenapa-alasan-self-harm-injury-menyakiti-diri-sendiri-psikologi-cara-mengatasi_04 Tanda-tanda kalo kamu membutuhkan konsultasi dan bantuan psikolog atau psikiater](https://highlight.id/wp-content/uploads/2020/02/penyebab-kenapa-alasan-self-harm-injury-menyakiti-diri-sendiri-psikologi-cara-mengatasi_04-640x384.jpg)
Highlight.ID – Sulit berkonsentrasi dalam bekerja atau belajar, selalu merasa cemas, kehilangan minat terhadap sesuatu, dan tidak semangat menjalani hidup merupakan beberapa gejala orang yang mentalnya kurang sehat. Kondisi mental yang kurang sehat dapat membuat aktivitas sehari-hari menjadi terganggu.
Ujung-ujungnya, gangguan mental tersebut akan dapat menurunkan produktivitas. Tak berhenti sampai di situ, hubungan dengan orang lain pun dapat terhambat. Dampak yang ditimbulkan, orang akan berpotensi mencari pelarian dari masalah hidup, misalnya dengan menyakiti diri sendiri atau bahkan berpikir untuk melakukan upaya bunuh diri.
Pemicu Stress
Keluarga sebagai lingkaran pertama idealnya merupakan tempat di mana seseorang mendapatkan perhatian, belaian cinta dan kasih sayang maupun dukungan moral dari orang-orang terdekat. Namun kenyataannya, banyak orang yang justru tak mendapatkan hal-hal tersebut. Tak sedikit di antara mereka yang kemudian merasa sedih, galau, dan stress yang jika berlarut-larut maka akan dapat memicu gangguan mental yang lebih akut seperti depresi misalnya.
Persoalan dalam keluarga ini menjadi salah satu pemicu stress yang paling dominan. “Kurang lekatnya (antara) keluarga sama anak karena mungkin ibunya sibuk, bapaknya sibuk. Atau mungkin bapak dan ibunya nggak komunikatif, jarang ngajakin ngobrol, seringnya menuntut. Itu salah satu hal juga yang bikin mereka jadi lebih rentan terhadap stress yang dari circle kedua,” jelas Dian Sartika Sari, Psikolog dari Rumah Konsul kepada Highlight.ID.
Baca Juga: Seluk Beluk Tes Kerja di Perusahaan yang Perlu Kamu Ketahui
Misalnya orang yang di-bully akan mudah merasa down dan sedih karena anggota keluarganya tidak memberikan perhatian penuh dan dukungan yang semestinya. Contoh lain adalah ketika orang kehilangan kekasihnya. Ia merasa sedih lalu menyakiti dirinya sendiri. “Keluarganya kurang dekat sama dia. Kurang mendapatkan kasih sayang dari keluarga sehingga kasih sayang itu dipindahkan ke pacarnya. Waktu kehilangan pacarnya, benar-benar kayak kehilangan keluarga,” kata wanita kelahiran Yogyakarta ini.
Oleh karena, tantangan yang dihadapi oleh orang tua yakni bagaimana bisa memberikan perhatian dan pemahaman yang lebih kepada anaknya. “Banyak orang tua yang kena gap generasi akhirnya yang ada lebih ke tuntutan tetapi kasih sayangnya (kepada anak) kurang. Atau banyak menuntut dan memberikan kasih sayang tetapi bahasa kasihnya nggak sesuai karena beda generasi,” ucapnya.
Penyebab Self-Harm
Dian mengungkapkan bahwa ia sering menemui pasien yang melukai dirinya sendiri atau disebut self-harm. Self-harm atau self-injury merupakan perilaku menyakiti diri sendiri secara sengaja di antaranya yakni menyayat anggota tubuh, membenturkan kepala ke dinding, menarik rambut, mencakar kulit, menelan zat beracun hingga mengonsumsi obat-obatan secara berlebihan. Rata-rata orang yang melakukannya adalah anak muda.
Baca Juga: Kuliah Jurusan Psikologi, Apa Sajakah yang Bisa Kamu Pelajari?
![Tanda-tanda kalo kamu membutuhkan konsultasi dan bantuan psikolog atau psikiater](https://highlight.id/wp-content/uploads/2020/02/penyebab-kenapa-alasan-self-harm-injury-menyakiti-diri-sendiri-psikologi-cara-mengatasi_01.jpg)
Apa alasan orang melakukan self-harm? Tindakan-tindakan yang membahayakan diri sendiri tersebut biasanya dilakukan sebagai pelampiasan atas emosi yang berlebih dan cara untuk mengatasi dari kondisi yang sulit. Sebaliknya, orang yang merasa hampa dalam hidupnya dan ‘membeku’ hatinya akan mempunyai potensi untuk melukai dirinya sendiri. Dengan tindakan itu, ia menganggap bahwa dirinya masih mampu merasakan sesuatu, meskipun itu adalah sesuatu yang menyakitkan.
Pelaku self-harm berupaya memindahkan rasa sakit yang tertimbun di dalam jiwanya secara fisik ke anggota tubuh namun tanpa ada niat untuk bunuh diri. Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi self-harm seperti masalah sosial, gangguan mental, kesulitan untuk mengungkapkan emosi atau perasaan hingga trauma psikologis akibat pengalaman buruk di masa lalu yang sulit dilupakan.
Biasanya, orang melakukan self-harm secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orang lain. Beberapa ciri fisik yang terlihat seperti adanya sayatan-sayatan atau memar pada pada tubuh pelaku self-harm. Namun ketika, orang lain menanyakan penyebab luka tersebut, pelaku self-harm akan mencari-cari alasan dan tidak mau mengungkapkan kejadian yang sebenarnya.
Baca JUga: Profesi Menarik yang Bisa Kamu Jalani untuk Alumni Jurusan Psikologi
Pola asuh sejak kecil juga berpengaruh terhadap kematangan mental seseorang. Banyak anak yang sejak kecil tidak dibiasakan untuk mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti sedih atau kecewa misalnya. Ketika mereka berusaha untuk mencurahkan perasaannya, orang lain malah justru akan mengejek dan merendahkan. Alhasil ketika beranjak remaja, ada anak yang menyalurkan emosi dengan cara menyakiti dirinya sendiri.
Lalu, apakah ada cara untuk menghentikan tindakan self-harm? Cara yang terbilang sangat sederhana dan bisa dilakukan untuk mencegah perilaku self-harm yakni dengan berolah raga atau melakukan aktivitas fisik. Dengan melakukan olah raga atau aktivitas, maka selain tubuh akan menjadi sehat, pikiran juga akan lebih rileks. Tubuh yang lelah setelah olah raga akan membuat pikiran untuk melukai diri sendiri berkurang atau bahkan bisa hilang.
Orang yang sadar bahwa ia telah menyakiti diri sendiri sebaiknya segera meminta bantuan kepada orang lain. Apabila merasa tidak ada orang yang memahami dan mau mendengarkan keluhan-keluhan, maka berkonsultasilah ke psikolog sebagai pertolongan pertama. Psikolog akan mendengarkan segala macam keluhan dan memberikan terapi maupun konseling yang dibutukan.
Baca Juga: Kenali Gejala dan Penyebab Depresi Serta Cara Mengatasinya
Mengatasi Gangguan Mental
Berkembangnya teknologi informasi seperti internet dan media sosial membuat kesadaran masyarakat tentang kesehatan mental semakin meningkat. Menurut Dian, sudah banyak orang yang berkonsultasi ke psikolog atas kesadaran sendiri. “Semakin gencar (informasi di) medsos soal kesehatan mental, isunya makin naik, jadi orang makin aware dengan itu. Ketika mereka datang ke kita, itu merupakan bentuk pembelajaran dan pengembangan diri.”
Untuk menganalisis kondisi mental pasien secara lebih mendalam, psikolog menggunakan beberapa instrumen di antaranya yakni gambar/grafis, wawancara/observasi, dan Saks Sentence Completion Test (SSCT). Instrumen-instrumen tersebut digunakan untuk mengungkap dinamika kepribadian dan hubungan individu dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya.
Apabila ternyata kondisi pasien sudah cukup parah yang ditandai dengan adanya halusinasi hingga keyakinan palsu atau waham yang mengarah ke penyakit jiwa skizofrenia maka ia perlu dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut, termasuk pemberian obat-obatan. Namun apabila tidak ditemukan tanda-tanda tersebut, pasien cukup ditangani oleh psikolog.
Perkembangan kesehatan mental (prognosis) seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya yakni support system yang meliputi keluarga, teman atau orang-orang paling dekat di sekitar pasien. “Memang support system (adalah) salah satu hal yang mempengaruhi prognosis seseorang. Misalnya orang itu jadi lebih mudah sembuh, ketika support system-nya baik,” kata Dian.