Home Tips Education Apa Itu Self Diagnosis? Ini Dia Penjelasannya

Apa Itu Self Diagnosis? Ini Dia Penjelasannya

Self diagnosis dilakukan orang yang mengira dirinya sedang mengalami depresi atau bipolar
Ilustrasi | Foto: Unsplash

Highlight.ID – Stress atau perasaan tertekan dapat menghampiri siapa saja tanpa memandang usia, strata sosial maupun jenis kelamin. Apabila tidak ditangani dengan segera, stres dapat memicu gangguan mental yang lebih parah, seperti depresi misalnya. Sebagian orang akan cenderung mendiagnosis sendiri (self diagnostic) ketika dia merasa tertekan atau mempunyai permasalahan yang membebani pikiran. Lalu dengan mudah, ia menganggap dirinya mengalami gangguan mental tertentu.

Self diagnosis merupakan pertanda bahwa seseorang sudah mempunyai kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak beres terjadi dalam dirinya. Di era teknologi digital seperti sekarang, orang akan memilih mencari informasi sendiri lewat website, media sosial maupun sumber lain. Berbekal informasi yang belum tentu lengkap dan akurat, orang kemudian akan mengambil kesimpulan sendiri tentang kondisi kejiwaaannya.

Lalu apakah self diagnosis akan berdampak buruk pada seseorang? Apabila orang melakukan self diagnosis tanpa bantuan orang yang ahli seperti psikolog maupun psikiater, maka dia kemungkinan akan terjebak pada diagnosis yang salah. Apalagi jika orang tersebut tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang ilmu psikologi atau kejiwaan.

Bipolar dan Depresi

Menurut Dian Sartika Sari, Psikolog dari Rumah Konsul, orang paling sering mendiagnosis dirinya mengalami bipolar atau depresi. Bipolar merupakan gangguan mental dengan gejala seperti perubahan emosi yang sangat fluktuatif dan drastis yang terdiri dari 2 fase yakni fase depresi dan fase mania. Sedangkan depresi merupakan gangguan suasana hati (mood) berupa perasaan sedih yang amat dalam dan diikuti dengan gejala-gejala lain.

Baca Juga: Self-Harm, Kenapa Orang Sengaja Melakukannya?

“Kenapa bipolar sama depresi itu banyak? Karena gejala depresi itu (tandanya) kita sedih banget, terus nggak mau ngapa-ngapain. Kayak mau pergi itu malas, ketemu orang malas,” kata Dian kepada Highlight.ID. Banyak kasus di mana setelah Dian mendiagnosis pasien, ternyata mereka tidak mengalami depresi atau bipolar namun hanya kesedihan yang sifatnya sementara akibat stressor tertentu. Menurutnya, orang yang melakukan self diagnostic bisa ditangani oleh psikolog karena biasanya masih dalam taraf yang relatif ringan. Namun apabila kondisi kejiwaan pasien sudah tergolong kompleks dan membutuhkan obat-obatan maka baru dirujuk ke psikiater.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering mengalami semacam mood swing, dari perasaan sedih menuju perasaan gembira demikian juga sebaliknya dalam waktu singkat. “Padahal yang dimaksud bipolar itu ada rentang waktunya. Kapan manic, kapan depressive itu ada fasenya. Bukan (misalnya) pagi ini aku sedih banget, trus nanti senang banget. Padahal ada trigger sebenarnya yang membuat dia sedih atau gembira,” jelasnya.

Artinya, banyak orang yang terburu-buru mendiagnosis dirinya mengalami bipolar padahal sebenarnya tidak. Yang ia alami hanyalah mood swing yang masih normal dan belum termasuk dalam gangguan mental. “Mood swing banyak terjadi ketika secara mental age ia masih remaja. Atau usianya sudah dewasa tapi mental age-nya belum matang,” ujar alumnus Magister Psikologi Profesi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Baca Juga: Kuliah Jurusan Psikologi, Apa Sajakah yang Bisa Kamu Pelajari?

Konsultasi ke Psikolog

Dian menerangkan bahwa pada dasarnya self diagnostic merupakan hal yang normal dilakukan kebanyakan orang. Mencari tahu informasi tentang gangguan mental lalu mencocokkan gejala-gejala dengan dirinya merupakan hal yang wajar. Namun seringkali yang terjadi, orang salah dalam mendiagnosis kondisi mentalnya.

Menurut Dian, orang sebaiknya berkonsultasi ke psikolog terlebih dahulu sebagai pertolongan pertama apabila kondisi mentalnya terganggu. Selanjutnya, psikolog akan mengetahui kapan pasien tersebut harus dirujuk ke psikiater apabila memang diperlukan.

Secara umum, orang yang sedang terganggu mentalnya tak dapat berpikir jernih. Oleh karena itu, bantuan psikolog maupun psikiater sangat diperlukan untuk mempercepat kesembuhan pasien. Meskipun demikian, konsultasi ke psikolog/psikiater tidak menjamin kesembuhan seratus persen. “Pada akhirnya ketika ngobrol (konsultasi) ke psikolog pun, kesembuhannya (tergantung pada) pasien,” tuturnya.

Berdasarkan pengalaman Dian, pasien harus melakukan perawatan berkali-kali agar proses penyembuhan berjalan optimal. Gangguan mental yang dialami pasien bisa jadi akibat dari permasalahan menahun yang berlangsung selama bertahun-tahun ketika berinteraksi dengan orang lain dalam keluarga maupun lingkungannya. Tingkat kesembuhan pasien pun beragam. Ada pasien yang beberapa kali sesi menunjukkan perkembangan yang bagus, sementara di sisi lain, ada pasien yang tidak melanjutkan perawatan hingga tuntas.

Lebih lanjut Dian menerangkan bahwa prognosis dipengaruhi beberapa faktor. Dian menerangkan, “Terutama yang paling dominan support system, (yakni) keluarga, teman-teman. (Faktor) Status ekonomi itu tergantung, menimbulkan stressor buat dia ato nggak. Terus kemampuan dia untuk memahami dirinya (atau) menumbuhkan insight juga berpengaruh pada prognosis. Ketika cara berpikirnya cenderung negatif, biasanya (penyembuhannya) lebih lama.”