Highlight.ID – Dokter spesialis kulit dan kelamin atau SpKK fokus pada penanganan masalah kulit dan kelamin. Dalam perkembangannya, SpKK berganti nama menjadi spesialis dermatovenereologi atau SpDV. Kedua istilah tersebut sama saja, hanya istilahnya yang berbeda.
Untuk memahami lebih dalam tentang bidang dokter spesialis kulit dan kelamin, Highlight.ID menjumpai dr. Rita Maria, SpKK. Saat ini, dr. Rita bekerja dan praktik di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
dr. Rita Maria meraih gelar dokter umum setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta. Kemudian, dr. Rita melanjutkan pendidikan di Universitas Padjadjaran, Bandung di mana ia mendapatkan gelar Spesialis Kulit dan Kelamin (SpKK).
Spesialis Dermatovenereologi (SpDV)
“SpKK itu adalah Spesialis Kulit dan Kelamin, tapi sekarang yang lulusan baru diganti gelarnya menjadi SpDV (spesialis dermatovenereologi),” kata dr. Rita di ruang kerjanya. Dermatovenerelogi berasal dari kata ‘Dermatologi’ dan ‘Venereologi’. Dermatologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang mempelajari kulit, rambut, serta kuku. Sedangkan venereologi adalah cabang kedokteran yang mempelajari permasalahan seputar area kelamin.
Baca Juga:
Perbedaan Dokter Estetika, Dokter Kulit & Dokter Bedah Plastik
“Dokter spesialis kulit itu kan ada organisasinya, dari kolegium ilmu kesehatan kulit dan kelamin se-Indonesia menetapkan gelar baru SpDV. Jadi sama (antara) SpKK dan SpDV,” ujar dr. Rita.
“Kita (SpKK) menangani segala permasalahan mengenai kulit, rambut, kuku dan daerah kelamin atau genital. Untuk kulit itu banyak, ada penyakit infeksi, penyakit alergi, tumor kulit, kemudian kosmetik untuk kecantikan,” tutur dr. Rita. Di bidang kedokteran spesialis kulit dan kelamin, perawatan estetika disebut dengan kosmetik medik.
Bidang Kerja
Ruang lingkup pekerjaan dokter spesialis kulit dan kelamin terdiri dari beberapa divisi yakni:
- Dermatologi kusta dan infeksi; menangani permasalah infeksi kusta, infeksi bakteri atau virus.
- Dermatologi jamur, menangani segala permasalahan kulit yang disebabkan oleh jamur.
- Dermatologi pediatrik; menangani penyakit kulit dan kelamin yang dialami oleh anak-anak.
- Dermatologi kosmetik; fokus pada penanganan masalah kecantikan atau estetika kulit seperti jerawat, flek hitam, bekas luka, dan lainnya.
- Dermatologi alergi; mengatasi permasalahan alergi kulit dan penyakit-penyakit autominun.
- Dermatologi geriatrik; fokus penanganan kulit pada orang berusia lanjut.
- Tumor dan bedah kulit; menangani penyakit tumor, kanker kulit dan tindakan-tindakan bedah kulit.
- Penyakit menular seksual; fokus pada permasalahan penyakit menular seksual seperti sifilis, herpes, gonore, HIV, dan lain-lain.
Baca Juga:
Khasiat Stem Cell untuk Kecantikan Kulit dan Kesehatan Organ Tubuh
Menurut dr. Rita, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin mampu mengatasi segala permasalahan yang dijelaskan di atas. Bidang estetika atau kecantikan adalah salah satu dari ilmu yang dikuasai oleh seorang dokter spesialis kulit dan kelamin.
Jadi, jangan salah pemahaman bahwa dokter kulit hanya bisa mengobati penyakit kulit dan kelamin saja. Dokter kulit mampu memberikan pelayanan kosmetika serta berkompetensi untuk melakukan prosedur-prosedur kosmetik seperti botox, filler, tanam benang, tindakan laser, dan masih banyak lagi.
Waktu yang ditempuh untuk menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan gelar SpKK paling cepat sekitar 3,5 tahun atau 7 semester. “Jadi, (kuliah) dokter umum dulu (selama) enam tahun. Terus nyambung lagi sekolah spesialis paling cepat kurang lebih tiga setengah tahun,” tambahnya.
Bedanya dengan Dokter Kecantikan
Setelah lulus, dokter spesialis kulit dan kelamin dapat bekerja atau praktik di rumah sakit, klinik atau membuka praktik pribadi. Selain dokter SpKK, terdapat dokter umum yang bekerja di klinik kecantikan. Dokter umum tersebut biasa disebut dengan ‘dokter kecantikan’.
“Dokter kecantikan adalah dokter umum yang berpraktik bidang kecantikan. Bedanya, kalo SpKK itu harus menempuh pendidikan resmi. Dia harus mendaftar ke universitas negeri yang ada di seluruh Indonesia. Ada di Bandung, misalnya Unpad (Universitas Padjadjaran), kalo di Jakarta, UI (Universitas Indonesia), kalo di Makassar misalnya Unhas (Universitas Hassanudin),” ujarnya.
Lebih lanjut dr. Rita mengungkapkan, “Sebelum disahkan SpKK ada ujian negara. Seluruh penguji adalah perwakilan guru-guru spesialis kulit dari seluruh Indonesia. Setelah dia (dokter) lulus ujian negara, lalu lulus ujian lokal di universitas negeri masing-masing, baru bisa dapat gelar SpKK. Kalau dokter kecantikan, mereka tidak menempuh pendidikan di universitas negeri, lebih cenderung mereka ikut seminar, kursus, atau belajar sendiri. Itu bedanya.”
Baca Juga:
Laser Hair Removal untuk Hilangkan Bulu-bulu Tubuh Mengganggu
Peran Teknologi
Dalam menjalankan tugasnya, dokter spesialis kulit dan kelamin tak dapat dipisahkan dari teknologi. Dari tahun ke tahun, teknologi kedokteran pun semakin berkembang dengan munculnya mesin-mesin atau alat-alat baru.
Untuk itu, menurut dr. Rita, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin diharuskan untuk senantiasa memperbarui ilmunya agar dapat mengetahui perkembangan teknologi medis terkini.
Memilih Dokter/Klinik yang Aman
Di luar dokter spesialis kulit dan kelamin yang telah menempuh pendidikan formal, tak jarang, ada pula orang-orang yang membuka praktik dan menawarkan beragam treatment kecantikan tanpa dibekali pendidikan di bidang kedokteran. Apabila tidak berhati-hati, maka masyarakat dapat dengan mudah tertipu oleh klinik kecantikan ‘abal-abal’ tersebut.
Hal itu dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat tentang cara memilih klinik atau dokter yang tepat. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi keputusan pasien yakni karena tergoda oleh iming-iming iklan atau harga.
Baca Juga:
Mengurangi Lemak Tubuh dengan X Wave, Vanquish ME, dan Exilis Elite
Menanggapi kasus tersebut, dr. Rita mengatakan, “Pertama, mereka (karena) ketidaktahuan. Ada yang benar-benar tidak tahu, dikiranya dokter beneran. Kedua, yang susah adalah merubah persepsi masyarakat. Kadang-kadang masyarakat mempunyai persepsi atau dugaan-dugaan sendiri dan itu susah untuk kita luruskan. Makanya penting bagi seorang dokter spesialis memberikan edukasi atau penjelasan kepada pasien dengan baik.”
Meskipun mengubah persepsi masyarakat bukanlah perkara yang mudah, namun lewat edukasi yang baik, diharapkan pasien dapat meneruskan informasi dari dokter kepada orang-orang di sekitarnya. Di samping edukasi langsung oleh dokter, media sosial juga dapat menjadi alat edukasi tentang kesehatan kepada pasien atau masyarakat pada umumnya.
dr. Rita menuturkan, “Seiring zaman yang makin maju, masyarakat juga makin pintar. Yang saya lihat, lama-lama mereka tahu, kan mereka harusnya berobat ke dokter spesialis. Kalo ada pasien berobat, diberikan penjelasan yang baik dan tepat.”