Highlight.ID – Kemajuan dalam bidang teknologi siber seperti internet of things (IoT), artificial intellegence (AI), dan cloud computing yang ditandai dengan adanya digitalisasi dan otomatisasi merupakan pertanda era Revolusi Industri 4.0. Tren yang berkembang ini memunculkan berbagai disrupsi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Hadirnya teknologi yang serba digital telah menggeser cara orang-orang dalam berkomunikasi, bekerja maupun beraktivitas.
Lalu, bagaimana dengan desain komunikasi visual (DKV) sendiri? Banyaknya aplikasi mobile yang diunduh lewat smartphone semakin memudahkan siapapun untuk mengedit video, mengatur layout desain bahkan menggambar secara digital. Dengan kemajuan teknologi digital tersebut, kini siapapun bisa menjadi desainer grafis tanpa harus mempelajari DKV lewat lembaga pendidikan. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang berkecimpung di dunia DKV baik mahasiswa, lulusan maupun praktisi.
Padahal, DKV atau desain grafis tak sebatas penggunaan sofware komputer atau aplikasi mobile semata. Tapi berkaitan erat dengan ilmu-ilmu seperti tipografi, nirmana, ilustrasi, layout, dan lainnya. Lebih dari itu, DKV juga mencakup ilmu-ilmu seperti psikologi, komunikasi, pemasaran, branding hingga budaya. Hal inilah yang seringkali dilupakan oleh mereka yang tidak mempelajari DKV dan hanya mengandalkan keterampilan dalam mengoperasikan teknologi digital.
Untuk mengetahui bagaimana peluang dan tantangan DKV di era 4.0, Highlight.ID mewawancari Surianto Rustan, pria kelahiran Jakarta ini merupakan Penulis Buku Desain, Pengajar, dan Desainer. Beberapa buku yang pernah ditulis di antaranya yakni “Layout, Dasar & Penerapannya”, “Font & Tipografi” dan “Mendesain Logo”. Beberapa tulisan beliau juga dapat ditemukan di situs www.suriantorustan.com. Inilah petikan wawancara kami dengan Surianto Rustan lewat surat elektonik.
Baca Juga: Cari Kerjaan Desainer Grafis? 7 Lapangan Pekerjaan Ini Menarik Untukmu
1. Bagaimana perkembangan DKV di Indonesia maupun dunia di era sekarang?
DKV/desain grafis, seperti juga bidang-bidang lainnya, pasti terdampak revolusi industri 4.0. DKV tidak mati, demand bahkan makin tinggi (makin dibutuhkan masyarakat), namun esensi, ekosistem, dan lain-lain telah berubah.
Tadinya, desain dikerjakan oleh profesional, harus pakai riset, waktunya lama, harganya mahal. Kini dikerjakan oleh siapapun tanpa latar belakang pendidikan DKV, tanpa riset, cepat, dan murah.
Semua dimungkinkan karena teknologi canggih masa kini, yang memungkinkan hal-hal ini terjadi:
- Siapapun, kapanpun, di manapun, bisa mendesain cukup pakai hape saja.
- Apps desain gratisan bermodal puluhan template yang keren-keren.
- Biaya promosi murah pakai media sosial.
- dan lain-lain.
Baca Juga: Cakupan Kerja Desainer Grafis, Mulai dari Desain Brosur Hingga Logo
Hal-hal tersebut berdampak terhadap esensi desain, profesi desainer dan ekosistemnya, kualitas desain, harga desain, dan lain-lain.
2. Ada anggapan bahwa desainer grafis hanya sebatas kemampuan mengoperasikan software komputer. Bagaimana menurut Anda?
DKV/desain grafis dimensinya luas sekali. Ada pekerjaan desain yang seluruhnya dikerjakan pakai software komputer, contohnya: digital painting, photo editing, landscape untuk game, dan sebagainya. Tapi, ada juga yang perlu bikin konsep dulu, contohnya: brand identity, iklan, display design, dan lain-lain.
Yang bilang “cuma perlu pakai software komputer” mungkin dia bekerja di proyek kecil atau pekerjaannya sebagai eksekutor visual saja. Tapi, yang bekerja di proyek desain besar pasti tahu bahwa desainer tidak cuma eksekutor visual.
Baca Juga: Peluang dan Tantangan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Proyek desain besar biasanya menuntut desainer punya keterampilan lain selain software, di antaranya: menguasai teori-teori desain seperti warna, tipografi, layout, copywritings, hingga ketrampilan di luar visual (sesuai kebutuhan proyeknya). Contohnya, menganalisa kepribadian brand, psikologi konsumen, etnografi, neuroscience, food design, fashion, travel, musik, produk digital, robotik, IoT, AI, dan lain-lain.
Karena untuk menghasilkan solusi desain yang berkualitas bagi klien/masyarakat, desainer harus tahu dulu segala problem/faktanya (yang mungkin berasal dari bidang/sektor yang berbeda).
3. Bagaimana desainer grafis bisa menyeimbangkan antara idealisme berkarya dan kepentingan bisnis?
Pertama, yang perlu dipahami adalah desainer bukan seniman. Mendesain itu bukan seperti melukis, membuat patung, membaca puisi, atau menari. Pada seni murni, porsi otak kanan (kreativitas, intuisi, dan lainnya) lebih mendominasi, ditambah lagi dengan ekspresi, idealisme, mood/emosi sang seniman.
Pada desainer, porsi otak kanan dan otak kiri (analisa, rasio, logika, dan lain-lain) harus seimbang. Karena dia harus menghasilkan karya yang fungsional, tidak cuma indah. Logo harus mencerminkan kepribadian perusahaan, bukan mencerminkan mood si desainer. iklan harus bisa menyadarkan masyarakat untuk diam di rumah dalam kondisi wabah, bukan idealisme si desainer “mangan ora mangan sing penting kumpul”.
Baca Juga: Kursus Keterampilan Ini Bisa Bikin Kamu Dapat Duit, Tertarik?
Saya suka warna biru, tapi mungkin kurang cocok dipakai untuk logo rumah makan. Saya suka font Comic Sans, tapi mungkin kurang cocok dipakai untuk iklan smartphone canggih.
4. Bagaimana agar desainer grafis dapat berkembang dan sukses di era sekarang?
Revolusi industri disebabkan oleh lompatan-lompatan teknologi, biang keroknya adalah teknologi. Dulu, teknologi mesin uap, lalu listrik, lalu komputer. Sekarang, teknologi digital yang merasuk ke segala sendi kehidupan.
Jarak antara lompatan-lompatan teknologi ini makin dekat, jadi sebentar lagi pasti ada revolusi industri lagi. Artinya, akan ada perubahan lagi, dan satu-satunya cara untuk survive adalah: cepat beradaptasi, keluar dari zona nyaman. Desainer perlu ‘mendekatkan diri’ ke biang keroknya: teknologi digital. Pelajari karakternya, coba gunakan, manfaatkan.
5. Haruskah desainer grafis fokus pada 1 – 2 bidang saja (misal: branding, advertising, multimedia, dan lainnya) atau menguasai banyak bidang sekaligus?
Analoginya: ‘dokter spesialis’ dan ‘dokter umum’. Si Bram karyanya betul-betul luar biasa, sekali posting ilustrasi di Instagram, yang nge-like ribuan orang, maka Bram fokus jadi ilustrator saja, jadi ‘dokter spesialis’.
Baca Juga: 7 Profesi Desainer yang Memiliki Prospek Bagus dan Menantang
Tapi suatu hari Bram ditawari proyek membuat logo dengan bayaran yang besar. Itu bukan bidang dia, tapi sayang amat kalau ditolak. Akhirnya, Bram menerima proyek itu, mengatur schedule dan keuangannya serta mencari orang yang ahli logo. Artinya, Bram bukan cuma ilustrator (dokter spesialis) tapi dia juga sebagai project manager.
Kalau sudah di dunia bisnis, apalagi di era sekarang, pilihan jadi ‘dokter spesialis’ atau ‘dokter umum’ jadi naif dan relatif. Saya tidak selalu dapat proyek yang sesuai dengan spesialisasi saya. Tapi kalau branding/reputasi saya sudah sangat terkenal, silahkan jadi ‘dokter spesialis’.
6. Berkembangnya teknologi informasi yang semakin cepat membuat banyak karya desain grafis yang mempunyai kemiripan antara satu dan lainnya. Apa pendapat Anda?
Kemiripan itu biasanya akibat: kurang wawasan visual, ikut-ikutan trend, atau bisa juga karena pakai template yang tersebar di pasaran. Untuk proyek-proyek lingkup kecil mungkin tidak masalah, tapi bagi corporate besar ini masalah.
Contohnya perusahaan ojol besar yang logonya mirip beberapa logo perusahaan lain. Kesannya kok perusahaan sebesar itu kurang wawasan visual. Kita jadi mempertanyakan di mana segi inovasi yang sering digaungkan si perusahaan ojol itu.
Baca Juga: Mahasiswa DKV UPH Ikuti Pameran Poster Tipografi Internasional
7. Bagaimana pendapat Anda tentang apresiasi masyarakat Indonesia terhadap karya desain grafis saat ini?
Di level tertentu, apresiasinya sangat rendah. Penyebabnya sudah saya terangkan di nomor satu. Penyebab lainnya adalah:
- Kurangnya pengetahuan, kesadaran, dan penegakan hukum hak cipta, sehingga banyak terjadi kasus peniruan, pembajakan karya desain.
- Asosiasi desainer grafis tidak melindungi desainer. Tidak ada sertifikat profesi, patokan harga, standar kualitas, black list klien atau desainer yang nakal, dan lainnya.
- Akhirnya, semua desainer terpaksa harus melindungi dirinya sendiri, keluarga, dan dapurnya. Termasuk dengan cara banting harga, membajak, meniru, dan lain-lain oleh oknum-oknum tertentu.
Bagaimana desain mau dihargai kalau desainernya sendiri tidak saling menghargai?
8. Apa harapan Anda tentang DKV khususnya di Indonesia?
Btw, banyak orang bilang “DKV is a sunset industry”. Maka membicarakan asosiasi desain grafis yang melempem, sekarang mah sudah basi. Karena menurut para ahli, DKV akan semakin ‘blur’ keberadaannya, membaur dengan bidang-bidang lain: bisnis, IT, hiburan, kesehatan, edukasi, dan lain-lain.
Dulu, hingga tahun 2000-an awal, DKV bisa sebagai bidang yang independen dan eksklusif. Tapi sejak disrupsi akibat Revolusi Industry 4.0, tidak lagi. Siapapun kini bisa kerja sebagai desainer di startup kecil maupun di perusahaan unicorn raksasa, tidak perlu lulusan DKV.
Saya tidak menaruh harapan pada sesuatu yang abstrak (DKV di Indonesia), tapi lebih tepatnya sebuah input yang konkrit bagi teman-teman desainer pemula di akar rumput:
“Jangan cuma mendesain untuk orang lain, tapi terlebih harus mahir mendesain hidupmu sendiri”.
“Dengan Kreativitas dari Tuhan, kita juga kreatif menghadapi segala perubahan dan tantangan hidup di masa depan”.